Kamis, 29 November 2018

Berkeliling Pasaman Barat


Kamis 15 November 2018, rencana perjalanan saya hari ini adalah menyinggahi tempat-tempat di kabupaten Pasaman Barat dan Pasaman Timur. Kenapa Pasaman? Karena Pasaman adalah daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Awalnya saya berencana untuk berkeliling Pasaman selama dua hari sebab perjalanan ini cukup jauh dan lama. Namun dikarenakan hujan yang tak henti-henti selama seminggu terakhir akhirnya saya urung berangkat dihari pertama, tinggallah satu hari waktu yang tersisa.

Rute panjang yang saya rencanakan adalah berangkat dari kota Padang terus ke Pariaman, Tiku, Kinali, Sasak, Maligi, Sikilang, Aia Bangih, Ujung Gading, Simpang Ampek, Talu, Panti, Lb. Sikapiang, Bonjol dan berakhir di kota Bukittinggi. Karenanya pagi dini hari sekitar jam 03:30 saya sudah keluar rumah dan perjalanan pun saya mulai. 

Satu jam kemudian saya sudah sampai di kota Pariaman, azan subuh belum terdengar dan setelah sampai di daerah Sungai Limau barulah saya berhenti disebuah Mesjid, dan selesai subuh perjalanan saya lanjutkan. Mata saya mulai risau memperhatikan amper minyak yang sudah mulai melewati garis merah. Sebelumya ada satu SPBU 24 jam yang sengaja saya lewatkan kerena petugasnya lagi bobok disamping dispenser minyaknya, kerena gak mau membangunkan macan tidur saya pun terus lanjut. Sesampainya di dearah Tiku saya belum juga menemukan SPBU lainnya, disini saya tidak berani lagi untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya saya mondar mandir seperti maling anak yang lagi mengintai mangsa menunggu penjual minyak ketengan membuka pintu warungnya.

Syukur tidak begitu lama akhirnya bahan bakar saya dapatkan dan pedal gas pun kembali saya putar. Sesampai dipertigaan manggopoh saya sempatkan berhenti sebentar dan mengheningkan cipta sesaat didepan patung Siti Manggopoh yang berada dipinggir jalan sembari mengenang sejarah perjuangan rakyat melawan penjajahan Belanda. Jam ditangan sudah menunjukkan pukul enam pagi, dari sini saya berbelok ke kiri tentu saja menuju kearah kabupaten Pasaman Barat.




Lebih dari satu jam saya sampai di Kinali, dan tidak beberapa jauh kedepan saya kembali berhenti disebuah tugu yang tidak begitu dianggap, namun secara pribadi bagi saya itu tugu yang cukup spesifik, karena hanya ada dibeberapa tempat saja di Indonesia. Itu adalah tugu penanda batas antara bumi belahan utara dengan bumi belahan selatan, yaitunya tugu Equator/Khatulistiwa Kinali. Dari sini saya mulai aktifkan GPS, karena tujuan saya berikutnya adalah nagari Sasak Ranah Pasisie, dengan melewati jalan kecamatan yang kemungkinan banyak persimpangannya sebab dari Kinali ke Sasak tidak perlu melewati kota Simpang Ampek karena hanya buang waktu keatas dan balik lagi kebawah.

"Siap Boss...!" Itulah kata yang selalu saya ucapkan setiap kaki telinga saya mendengar suara pemandu wanita dari speaker handfree yang mengarahkan saya untuk mengikuti arahnya. Saya tidak melihat map karena handphone berada didalam saku jaket. Jalan semen, berbatu, melewati jembatan goyang diatas sungai ikan larangan dan akhirnya saya terhenti karena buntu di depan ladang jagung masyarakat. Kampret juga ni si Boss, kemana lagi ni...! Ucap saya kesal. Saya mulai mengamati mapping dan tidak mau lagi sepenuhnya mengikuti arahan GPS. Memang untuk jalur-jalur perkampungan rute GPS sering kali tidak akurat dan itu beberapa kali saya buktikan menjelang saya sampai di nagari Sasak.

Sasak adalah nama yang sudah lama saya dengar selama ini, walau sudah eksis sejak lama namun pembangunan boleh dikatakan belum menyentuh daerah ini. Perkampungannya masih layaknya perkampungan khas nelayan biasanya. Namun untuk wisata pantainya Sasak memiliki dua pantai yang indah. Pertama pantai Seribu Pohon, dimana garis pantai sepanjang beberapa kilometer ditanami rapi dengan deretan pohon pinus yang menyejukkan mata. Dan kedua pantai Muaro Sasak. Sesuai namanya dipantai ini bermuara sebuah sungai yang cukup besar dengan pinggirannya yang disusun batu-batu sungai yang besar seperti batu-batu pemecah ombak di pantai-pantai lainnya.









Selesai berkeliling dan menyusuri garis pantai Seribu Pohon serta Muaro Sasak yang cukup panjang saya berhenti disebuah tugu lagi, tugu yang juga mirip tugu equator juga. Sasak adalah daerah yang juga dilalui garis khatulistiwa, namun saya tidak bisa memastikan itu adalah tugu equator. Pada tugu terdapat bola dunia lengkap dengan peta Indonesia dan sebuah kapal layar diatasnya, untuk sementara ini identik dengan tugu equator namun pada bagian bawahnya tertulis kalimat dalam bahasa sanskerta yang berbunyi "Sasak Rancak Tacelak". Tidak mau pusing dengan tugu apa, waktu sudah lewat pukul sembilan pagi dan lambung saya telah mengeluarkan zat asam yang banyak, lalu saya pun mulai mencari susuatu untuk digiling. Walau terdapat banyak warung makan minum disepanjang pantai namun sepertinya tidak ada seorang pun pengunjung dipagi ini kecuali saya sendiri yang rana-rene mirip sales obat kurap. Karena tidak berniat duduk dipinggir pantai akhirnya saya menemukan warung didepan gerbang masuk di sebuah Sekolah Dasar, dan disinilah pencarian saya berakhir.

Selesai sarapan ala bocah, lontong bakwan plus air mineral, Rp 6000,- sajaa... Dengan mengikuti petunjuk ibu warung yang sangat pemurah dan baik hati itu, saya membawa motor menyusuri jalan kecil berbatu yang terkadang digenangi air saya mencari jalan menuju desa Maligi. Sempat berkeliling kampung sebentar akhirnya saya menemukan sebuah jembatan besar menyeberangi sungai dan saya pun yakin sudah berada di jalan yang benar, jalan lintas Sasak-Maligi. Sasak ke Maligi hanya berjarak kurang lebih 15 km, dihubungkan dengan jalan setapak mengikuti garis pantai dengan waktu tempuh kurang dari 60 menit dengan dua kali menyeberangi muara menggunakan penyeberangan yang sederhana, tentu saja hanya sepeda motor yang bisa melalui jalan ini. 

Lepas dari jembatan besar pemandangan mulai berubah. Padang rumput hijau terhampar luas, pohon pinus dan pohon-pohon pinggir laut lain tumbuh satu- satu menghiasi padang savana yang rata dengan sisi sebelah laut berbentuk garis lurus. Beberapa genangan air membentuk telaga-telaga yang indah. Jalan setapak yang panjang membelah padang. Suara deburan ombak dari bibir samudera terus mengiringi perjalanan berbaur dengan desiran angin laut dan angin padang, sesekali suara kicauan burung membuat kita dapat merasakan dan menikmati suasana yang berbeda. Tiap sebentar keindahan alam menghentikan perjalanan saya, turun dari sepeda motor mengagumi keindahan ciptaan Tuhan dan tak lama merogoh saku mengambil handphone untuk mengabadikan pemandangan-pemandangan itu sebagai oleh-oleh pulang. Kurang puas dengan itu sebuah monocular pun saya gunakan agar dapat melihat lebih jauh.












Tanpa terasa perjalanan menuju desa Maligi sudah memakan cukup banyak waktu, lalu sampailah saya ditempat yang sepintas terlihat seperti muara. Tapi sepertinya bukanlah sebuah muara sungai, melainkan bibir telaga-telaga panjang yang menyambung ke laut, kemungkinan saat surut air disini mengalir pelan kelaut dan disaat pasang air laut ikuk mengisi telaga ini selain air lainnya disekitarnya. Beberapa sampan kecil hanya cukup satu atau dua motor bolak-balik mengantarkan menyeberang. Dengan meniti sebilah papan saya membawa sepeda motor naik keatas sampan untuk menyeberang. Penyeberangan berjalan sangat lancar, arus air juga tidak begitu deras, dengan ongkos Rp.5000,- sampailah saya diseberang dan perjalanan saya lanjutkan.

Selesai dari penyeberangan pertama pemandangan sekeliling masih menawan seperti sebelumnya, dan sampailah saya dipenyeberangan kedua yang juga sama persis dengan penyeberangan pertama tadi. Selesai menyeberang pemandangan mulai berganti. Kali ini pohon-pohon pinus mendominasi bibir pantai, suasana teduh dan sejuk menggantikan panasnya suhu padang. Disepanjang jalan sudah mulai banyak ditemui ternak-ternak masyarakat, terkadang pantai-pantai disini mirip dengan pantai-pantai diluar negeri sana karena banyak yang berjemur ditepi pantai. Cuma bedanyanya kalau diluar sana yang berjemur itu orang, kalau disini yang berjemur dan jalan-jalan dipinggir pantai itu sapi dan kambing. Tapi ini adalah tanda kalau saya sudah dekat dengan perkampungan. Dan tak lama dominasi pohon-pohon pinus pun mulai digantikan denga pohon kelapa, dari jauh terlihat orang-orang menjemur ikan dibawah teriknya panas matahari, dan sampailah saya di desa Maligi.










Seperti umumnya dearah-daerah pesisir lainnya dimana selalu terdapat muara sebuah sungai, Maligi juga merupakan daerah muara. Muara di Maligi adalah muara yang sangat besar namun terlihat seolah tanpa arus, sehingga menyerupai sebuah danau yang memanjang dan terdapat banyak dasar-dasar muara yang timbul ke permukaan membentuk banyak pulau-pulau. Deretan rumah dan perahu nelayan serta pohon-pohon kelapa yang tinggi menghiasi tepian dengan indah. Sebuah jembatan beton panjang membelah muara menghubungkan desa yang dipisahkan oleh muara tersebut. Disini saya melihat ada mobil, berarti dari sini sudah ada jalan yang cukup lebar untuk bisa dilewati oleh mobil. 

Sebelum menyeberang ke jembatan saya bawa sepeda motor tetap menyusuri tepi laut menuju arah ujung muara. Semakin ke ujung rumput-rumput dan pepohonan semakin sedikit dan akhirnya sampailah saya di hamparan pasir yang luas. Ujung muara masih jauh didepan namun sepeda motor sudah sangat sulit untuk dikendarai diatas pasir lalu saya pun berhenti. Berjalan kaki diatas pasir dibawah teriknya matahari itu sama artinya dengan melintasi gurun Sahara di Afrika Utara sana, akhirnya saya urung ke ujung muara mengingat waktu saya yang tidak banyak.

















Jam ditangan menunjukkan tepat pukul 12 siang. Selepas mengabadikan view-view menarik saya bergegas melanjutkan perjalanan kearah Sikilang. Jarak antara Sikilang ke Maligi jauhnya kira-kira sama dengan jarak Maligi ke Sasak. Jalan yang dilalui sudah bisa dilewati oleh mobil namun kondisinya seperti jalur Rally Dakar. Walau jalannya besar tapi perjalanan saya lebih lambat dari sebelumnya karena jalan tanah ini becek serta banyak genangan air dan lumpur. Beberapa kali saya terperosok didalam genangan air yang dalam dan dengan susah payah mengeluarkan motor dari lobang jalan yang sudah mirip kolam. Namun karena tanpa ada berhenti, kurang dari satu jam sampailah saya di desa Sikilang.

Tidak jauh berbeda antara Sasak dan Maligi, Sikilang juga merupakan perkampungan kecil nelayan namun padat. Seperti biasa saya menuju muara, karena ditempat-tempat seperti ini akan ada view menarik dimuara. Saya kembali berada di jalan setapak di garis pantai. Seorang warga disitu menyebutkan kalau jalan setapak itu menghubungkan Desa Sikilang dengan Maligi dan Sikabau menuju Air Bangis. Mendengar itu ada rasa menyesal kenapa tadi saya harus melalui jalan besar yang banyak lobang dan genangan itu. Sekiranya dari Maligi ke Kilangan saya kembali menyusuri pantai tentu lebih lancar dan banyak hal menarik yang akan saya jumpai. Sebelum sampai dimuara saya berfikir kembali ke desa karena mumpung masih dekat untuk mengisi perut sebelum nanti saya berada ditengah-tengah negara api yang tidak tau apa yang akan terjadi. 

Disebuah musholla kecil saya menjamak sholat lalu singgah disebuah warung kopi, sepertinya tidak ada yang menjual nasi disini, tapi dari pada nanti saya harus praktek survival ala Kopassus lebih baik saya makan makanan yang masih disebut makanan. Pemilik warung menyarankan saya ke Air Bangis supaya tidak menyusuri pinggir laut ke Sikabau, karena jalan kesana jelek. Sebenarnya dalam hati saya keberatan juga menerima saran itu karena dari tadi jalannya juga tidak ada yang bagus, namun karena yang memberi saran orang asli akhirnya saya ikuti juga untuk memutar ke daerah Air Haji dengan melintasi perkebunan sawit yang luas. Rencana ke muara saya batalkan karena saya harus menghemat waktu, jangan sampai nanti ada kendala dalam perjalanan dan saya bisa terkubur di tengah-tengah perkebunan sawit yang sangat luas.

Ini adalah perjalanan yang cukup jauh dan membosankan, jalan tanah perkebunan yang habis diguyur hujan selama musim hujan ini kondisinya tidak perlu lagi dijelaskan. Beberapa kali setiap saya bertemu seseorang langsung saya manfaatkan untuk bertanya, karena saya benar-benar tidak mau nyasar ditempat ini. Ditengah perjalanan terdapat sebuah sungai untuk diseberangi, ini adalah penyeberangan ke tiga sekaligus yang paling besar. saya tidak tau pasti berapa besar sungainya sebab sedang dalam kondisi banjir sehingga airnya menggenangi sisi kiri dan kanannya. Penyeberangan mereka bilang dengan ponton, sekilas terlintas dalam fikiran saya adalah semacam ponton motor, tapi sesampai di pinggir sungai saya cukup kaget. Tali kapal yang panjang diikatkan dikedua sisi sungai, lalu seorang bapak sebagai sang nahkoda sekaligus kapten naik diatas ponton dengan memegangi tali tadi dan menarik ponton dengan berdiri diatasnya, bayangkan jika pegangan sang kapten lepas... Jadilah kami laksana semut diatas selembar daun yang hanyut ditengah-tengah sungai yang deras.

Sudah hampir dua jam lamanya saya terlunta-lunta ditengah perkebunan, sampailah saya disebuah pabrik minyak kelapa sawit. Saya berhenti dan mengecek signal GPS, dan Alhamdulillah... H+ muncul dan saya bisa langsung tau dimana posisi saya saat ini. Tidak berapa lama lagi saya akan sampai di jalan aspal, jalan lintas Simpang Ampek - Aia Bangis tepatnya di Air Haji. Namun menjelang sampai, jalanan semakin parah dan hancur persis seperti sawah yang siap untuk ditanami padi, lalu akhirnya saya sampai juga di peradaban. Selesai membersihkan diri, dengan semangat baru gigi empat saya pasang dan lansung meluncur menuju nagari Air Bangis.






Air Bangis adalah negeri terjauh di Ranah Minang yang terletak di pesisir utara Sumatera Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara. Itulah alasannya kenapa saya harus sampai disini. Terletak antara dua buah muara, dengan panjang bibir pantai sekitar sejauh tiga sampai empat kilometer. Pertama mencapai tempat ini saya langsung berada di pusat keramaian yaitunya di Taman Bisai atau Taman Air Bangis yang berada di tepi pantai. Jika berbelok ke kiri kita akan sampai di muara tempatnya kapal-kapal ikan berlabuh dan jika ke kanan adalah kawasan Tugu Air Bangis yaitu kawasan pantai dengan sususan batu-batu sangai yang besar dipinggir dan pemecah ombak. Selain itu terdapat juga wisata kepulauan yang menjadi andalan wisata disini yaitu kawasan Pulau Panjang dan Pulau pigago yang terletak tidak jauh dari bibir pantai Air Bangis. Sepertinya mirip-mirip dengan pulau-pulau di kawasan Wisata Mandeh di Padang, cocok untuk camping atau sekedar one day trip saja, namun karena tidak ada rencana untuk menyeberang jadi tidak banyak informasi yang saya dapatkan tentang tempat ini.

Hari sudah hampir pukul lima sore, setelah singgah sebentar di Taman saya langsung menuju kawasan Tugu, saya tidak tahu ini tugu apa (tugu laaagii... 😞), namun sepertinya tugu ini legent juga. Tidak jauh dari tugu sampailah saya di muara dimana dari sini tidak ada jalan lagi untuk diteruskan. Sebenarnya pantai disini cukup indah namun terlihat biasa saja karena mungkin mata saya sudah kenyang dengan pantai, atau mungkin juga karena mata saya lebih tertarik dengan warung-warung makan yang ada dipinggir pantai sebab dari tadi hanya cemilan dan permen-permen saja yang mengganjal perut saya. Lalu saya singgah di salah satu warung, niat hanya ingin memesan mie rebus, tapi saya lihat ada satu menu yang agak berbeda... Sop Kepiting. Yaudah, mie rebusnya gak jadi, saya pesan sop kepiting aja. Saya pun duduk kelesehan dan membaringkan badan melepas lelah sambil menunggu. Tak lama uni warungnya datang membawakan pesanan. Mata saya pun melotot melihat seekor kepiting besar dalam mangkok. Sempat kaget sebab seumur-umur saya belum pernah makan kepiting sebesar ini, terakhir saya makan kepiting waktu di pantai Padang sama si dia dulu hanya kepiting goreng tepung seukuran jari, eeh...di Air Bangis ini saya singgah diwarung biasa disuguhi kepiting seukuran mangkok, dan hanya dengan harga @Rp. 30.000 (plus nasi) emeijiing....! Menurut saya ini menu spesial yang khas, jadi jika anda berkunjung ke Air Bangis belum sempurna kalau tidak mencoba menu ini, sangat recommended.












Matahari semakin turun dan tidak lama lagi akan tenggelam di tengah samudera. Taman Air Bangis sore itu sangat ramai. Ingin sekali rasanya menghabiskan waktu disini menikmati sunset bersama masyarakat Air Bangis. Dengan berat hati mengingat perjalanan pulang menuju Bukittinggi yang masih jauh, ditambah beratnya perjalanan malam menggunakan sepeda motor melalui jalanan yang belum pernah saya lalui, sedangkan stamina terus menurun membuat saya harus bergerak secapat mungkin. Jam ditangan sudah menunjukkan hampir pukul enam sore, saya pun bergerak meninggalkan nagari Air Bangis.

Hari mulai gelap saat saya memasuki daerah Ujung Gading. Sholat maghrib dan isya saya niatkan jamak saja setelah sampai nanti. Mendekati pukul delapan malam saya sampai di kota Simpang Empat. Disini rute perjalanan yang semula saya rencanakan belok kiri kearah Talu, Panti, Lb. Sikaping dan terus ke Bukittinggi harus saya rubah karena tidak ada gunanya lagi berkeliling ke wilayah kabupaten Pasaman Timur. Saya lurus lagi kearah Kinali, melewati perbatasan Pasaman Barat - Agam sampailah saya di daerah Padang Sawah, dan disini saya akan berbelok ke kiri kearah daerah Kumpulan.

Mendengar nama Kumpulan yang terbayang oleh saya hanyalah tempat favorit para pecinta buru babi, ya..karena hanya itu yang saya tahu. Sayang saya akan melintas kedaerah ini dimalam hari sehingga tidak banyak yang bisa saya lihat. Saya berhenti dan mengamati mapping. Walau terlihat tidak rata sepertinya cukup banyak juga desa-desa di dalam sana, dan terlihat satu jalur tak berpenghuni berliku-liku panjang membelah bukit barisan. Seru apa seram...? Keduanya sama-sama menantang. Saya juga tidak mau nyasar disini, apalagi hari semakin malam dan tubuh saya sudah semakin lelah, lalu GPS pun saya aktifkan. Terlihat jarak tempuh sekitar 40 Km dengan waktu tempuh sekitar satu jam, dan dengan ditemani GPS yang selalu nyinyir disetiap persimpangan perjalanan saya lanjutkan.

Cukup jauh berkendara melewati pemukiman Si Boss nyinyir mulai tidak kedengaran lagi suaranya, ah mungkin dia sudah tidur. Tiap persimpangan saya berhenti mengecek arah dan akhirnya saya sampai di jalur perbukitan terjal. Sinar bulan yang setengah purnama cukup membuat penglihatan menjadi ramang-remang. Jalanan berliku-liku naik-turun disisi tebing terjal yang sangat tinggi. Mungkin tempat ini mirip Ngarai Sianok  atau Silokek di Sijunjung. Namun sayang karena malam saya tidak dapat banyak melihat dan mengenali tempat ini. Saya berharap jalan aspal yang tidak lebar ini lama-kelamaan tidak semakin menyempit. Seperti yang saya alami beberapa tahun lalu, ketika saya "terkubur" ditengah hutan saat mencari jalan pintas dari daerah Matur ke Sitingkai Batang Palupuh, dimana jalan semakin lama semakin mengecil, berubah semen, berlumut dan akhirnya berubah menjadi jalan tanah naik turun ditengah hutan, yang akhirnya saya keluar ke sebuah desa yang belum ada listrik. Tapi syukurlah sekali-kali saya masih bertemu mobil yang artinya jalan ini tidak akan mengecil. Lampu tinggi dan lampu rendah motor terus saya gonta-ganti dikarenakan jalanan yang naik-turun, dan tiap saat sinarnya menyinari dahan pohon-pohon besar yang rimbun di pinggir jalan. Mungkin jalanan ini seketika akan berubah menjadi rata seandainya terlihat ada kuntilanak berpakaian serba putih duduk disalah satu dahan pohon diatas jalan tersebut... 😃😄😀

Lewat pukul sepuluh malam sampailah saya di pertigaan jalan Kumpulan dengan jalan lintas Bukittinggi-Medan. Tak kusangka ternyata nagari kumpulan itu tidak hanya dipinggir jalan lintas saja tapi ternyata masih jauh dan luas kedalamnya. Saya kembali mengecek GPS, dari sini untuk sampai ke rumah orang tua saya di Kamang Bukittinggi masih ada sekitar 55 km lagi. Tubuh saya sudah terasa sangat lelah, dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan semangat yang yang tersisa saya pun kembali melanjutkan perjalan untuk menyelesaikan etape yang terakhir. Dan menjelang pergantian hari, tepatnya pukul 23:45 sampailah saya dirumah dengan selamat, Alhamdulillah... Selama perjalanan sepeda motor kesayangan yang sudah berusia delapan tahun ini tidak pernah mengalami kerusakan, saya sendiri juga tidak ada mendapat luka atau cidera, hanya saja handphone saya mengalami retak LCD karena terjatuh sewaktu diperjalanan.

Ini adalah rekor baru perjalanan terlama yang pernah saya tempuh dalam satu hari.
Waktu tempuh hari ini lebih dari 20 jam,
Dengan total jarak tempuh dari hitungan spedometer sejauh 527 Km.
Besok dari pagi sampai malam saya akan kembali menjadi musafir lagi untuk perjalanan kembali ke Markas Besar di perairan perbatasan Riau-Kepri...Futong Port.
Badan pun sudah tidak terasa seperti badan lagi.



Salam Lestari...!
m.iqlab@gmail.com