Rabu, 27 Desember 2017

Marapi Diakhir Tahun



Desember tanggal 29, dipenghujung tahun ini keindahan alam Air Terjun Nyarai telah mengobati kelelahan kami setelah seharian mengarungi belantara hutan Gamaran Lubuk Alung. Hari sudah mulai gelap kami pun sampai di pasar Lb. Alung dan segera melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi untuk mempersiapkan tracking berikutnya yang jauh lebih berat lagi, yaitu pendakian gunung terfavorit di Sumatera Barat...Gunung Marapi.

Setelah selesai mempersiapkan peralatan, perlengkapan, logistik dan segala sesuatunya kami bergegas menuju daerah Koto Baru, dengan harapan secepatnya bisa mencapai pintu rimba, biasa dikenal dengan BKSDA atau Pesanggerahan untuk mendirikan tenda dan istirahat, karena sudah lelah seharian kami pun tidak berniat untuk menaiki gunung di malam hari. 

Jam sebelas malam kami sampai di Posko Pendaftaran Gunung Marapi (kadang tempat ini disebut Tower, karena disini terdapat komplek tower Telkomsel). Disini motor harus diparkir dan dari sini membutuhkan waktu sekitar 45 sampai 60 menit jalan kaki untuk mencapai pintu rimba. Tapi mengingat malam yang sudah semakin larut kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, lahan kosong yang rata dibawah tower jadi shelter bagus untuk bermalam, disana sudah ada beberapa tenda pendaki lain, lalu kami pun segera mendirikan tenda disana dan istirahat mengumpulkan tenaga untuk pendakian besok pagi.

Para pendaki yang terus berdatangan entah dari mana saja, dari malam sampai pagi cukup membuat tidur terganggu, apalagi camp kami yang berada disamping parkiran. Setelah selesai masak, sarapan, beres-beres lalu packing, sekitar jam delapan pagi kami mendaftar ke posko. Informasi posko sudah ada sekitar dua ribu pendaki yang sudah mendaftar. Syukurlah kami naik dua hari sebelum pergantian tahun, kalau seandainya hanya sehari sebelumnya mungkin sudah tidak ada lagi tempat nge-camp yang manusiawi diatas sana.

Pendakian pun kami mulai... Ini adalah pendakian keempat saya di gunung ini. 
Buk bro, teman mendaki saya kali ini beberapa kali menatap cadas diatas puncak sana. Entah apa yang dia pikirkan, mungkin masih antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Selama ini Buk Bro adalah perempuan baik yang jarang keluar, tapi hari ini dia sedang berada dijalur pendakian di sebuah gunung. Pergi bersama saya mungkin adalah sebuah keputusan paling gila yang pernah dia ambil dalam hidupnya.

Mendaki gunung bukanlah soal mencapai puncak. 
Puncak dan keindahan alam yang menakjubkan adalah bonus yg kita dapat.
Mendaki gunung adalah soal perjalanan. Perjalanan yang panjang, medan pendakian yang sulit, beratnya beban yang kita pikul serta cuaca yang tidak bisa ditebak adalah tantangan yang akan kita hadapi.
Kekuatan phisik bukanlah yang utama, yang pertama adalah tekad dan semangat yang kuat.
Kesabaran akan ditempa, karena tanpanya kita akan mundur dan berbalik turun.
Kesombongan dan keangkuhan dalam diri kita harus dikikis habis jika ingin selamat selama pendakian, berapa banyak yang celaka hanya karena ucapan takabur sedikit saja.

Diatas sana semakin sulit situasi persaudaraan akan semakin erat, disaat kita kehausan orang yang hanya mempunyai segelas air akan rela berbagi walau dia tak tau lagi dimana akan menemukan air.
Dan terakhir kita harus tau tiga aturan dialam yang telah disepakati oleh para pecinta dan penggiat alam:
Pertama jangan ambil apapun kecuali photo
Kedua jangan bunuh apapun kecuali waktu
Ketiga jangan tinggalkan apapun kecuali jejak
Itulah sedikit penjelasan saya kepada Buk Bro untuk sekedar mengingatkan berhubung Buk Bro baru pertama sekali naik gunung.



Trek pendakian diawali dengan melewati ladang-ladang sayur masyarakat, setelah itu kami sampai di pintu rimba, disini banyak pendaki yang istirahat, mendirikan tenda atau hanya sekedar camping. Awal-awal pendakian trek terasa berat, nafas cepat habis, namun setelah melewati pintu rimba dan masuk ke hutan bambu (Parak Batuang) tubuh mulai menyesuaikan, nafas pun mulai teratur. Sapaan Pak..Bu..selalu terdengar setiap kali bertemu dengan pendaki lainnya. Ini adalah ciri khas pendaki Sumatera Barat yang setiap bertemu akan saling tegur sapa dengan panggilan Pak/Bu walau kepada pendaki yang masih tergolong anak-anak sekalipun. 

Singkat cerita sekitar jam tiga sore kami sampai di Pintu Angin, jalur yang mulai agak terbuka, suara riuh diselingi teriakan samar-samar mulai terdengar, itu artinya tidak lama lagi kami akan segera mencapai batas vegetasi. Jika ingin mendirikan tenda di tempat yang tertutup atau dilindungi pepohanan carilah lokasi ditempat ini. Tidak lama kami sampai di batas vegetasi dan terus menaiki cadas. Cadas adalah lokasi vaforit mendirikan tenda. Bunga Cantigi merah yang tumbuh memenuhi cadas akan menyambut kita sesampainya kita disini. Dari sini kita akan menyaksikan pemandangan kebawah yang menakjubkan. Gunung Marapi yang berhadapan Dengan gunung singgalang dan Tandikek menambah eksotisnya alam ciptaan Tuhan, apabila malam tiba hamparan hijau akan berganti dengan taburan cahaya kelap-kelip dari lampu-lampu dari rumah-rumah penduduk dibawah. Sungguh suatu pemandangan yang tidak akan ditemukan dibawah sana. Disini saya bertemu seorang saudara seangkatan disebuah Perhimpunan Penggiat Alam Terbuka, dan karena sudah duhulu beberapa hari digunung diapun menunjukkan kepada saya tempat mendirikan tenda yang bagus, mengingat cadas sudah dipenuhi oleh tenda-tenda para pendaki yang akan menyambut pergantian tahun diatas gunung.



Bersyukur cuaca seharian ini bagus dan pendakian kami berjalan lancar sesuai harapan. Setelah tenda berdiri kami pergi menuju sumber air untuk mengisi tempat air yang sudah kosong. Sangat disayangkan hari-hari seperti ini akan banyak pendaki-pendaki dadakan yang tidak tau sopan santun diatas gunung, ada yang cuci kaki disumber air bahkan malah ada yang ninggalin jejaknya (buang hajat) di sumber air, yang membuat kami harus naik keatas jalur air untuk mengumpulkan air yang ada di sela-sela batu. Hari semakin sore, awan mulai turun kebawah kami menutupi permukaan bumi dibawah sehingga terlihat seperti lautan dimana puncak gunung Singgalang dan Tandikek terlihat seperti pulau ditengah lautan, ditambah syafak yang memerahkan langit dan awan dilapisan atas membuat saya terus terdiam duduk diatas batu menikmati indahnya senja sampai-sampai membuat Buk Bro jengkel karana sedari tadi sudah capek berteriak-teriak mengajak saya untuk sholat maghrib yang waktunya sudah masuk dari tadi.






Secangkir kopi bandrek terasa sungguh nikmat didinginnya udara gunung yang menusuk tulang. Cadas Marapi dipenuhi nyanyian manusia-manusia gunung dari tenda-tenda mereka masing-masing. Suara teriakan yang bersahut-sahutan dari atas sana sampai kebawah, dari sebelah kiri dan kanan tak henti-hentinya terdengar menyumpal telinga. Entah apaaa saja yang diteriaki yang penting berteriak. Sepertinya ini adalah ciri kedua pera pendaki Sumatera Barat. Kami hanya duduk diatas batu ditemani cemilan dan kompor yang menyala untuk penghangat badan sambil menikmati indahnya pemandangan dan suasana malam dengan sesekali membalas teriakan orang-orang yang memenuhi cadas. Sementara Buk Bro masih agak tercengang-cengang melihat suasana dan prilaku manusia-manusia gunung yang mungkin sangat asing baginya. Malam semakin larut dan semakin dingin, kami masuk ketenda dan membungkus badan masing-masing dengan sleeping bag, teriak-teriakan warga cadas menjadi nyanyian sebelum tidur yang indah.... 

Suara alarm dipangkal telinga membuka paksa mata saya yang terekat. Dinginnya subuh yang semakin menjadi-jadi membuat jalan saya terseok-seok keluar dari tenda. Sungguh-sungguh tidak menyenangkan memulai aktifitas disuasana begini, tapi waktu terbaik untuk summit attack (menuju puncak) adalah adalah pagi-pagi buta begini supaya dipuncak dapat menyaksikan sunrise dan pemandangan yang sangat indah karena awan masih dibawah. Setelah sholat dan berkemas barang-barang yang diperlukan perlahan kami mulai menaiki cadas menuju puncak, jalur pendakian sudah mulai dipenuhi para pendaki. Disini kita harus hati-hati dengan teriakan dari atas "awas batu...! " karena itu tandanya ada batu yang jatuh dari atas, kebanyakan penyebabnya karena ada pendaki yang terburu-buru lalu keluar dari jalur untuk mendahului pendaki lain dan menginjak batu atau kerikil besar sehingga barjatuhan kebawah. Walau hanya sebesar telur ayam kampung tetapi jika kena tepat dikepala bisa membuat kepala bocor. 

Mendekati puncak embun mulai menyelimuti dan gerimis mulai turun, biasanya pagi-pagi cuaca terbuka dan cerah tapi kali ini sepertinya tidak menguntungkan. Para pendaki terlihat semakin bekurang dan terakhir hanya ketemu satu-satu. Kami terus naik sampai terlihat ada segerombolan pendaki berkumpul disuatu tempat, dan saya tau tempat itu adalah Tugu Abel (tugu untuk mengenang Alm Abel Tasman, pendaki yang meninggal dunia saat letusan gunung Marapi pada tahun 1992) itu artinya kami sudah samapi di puncak. Tidak lama kami sampai di lapangan bola (sebenarnya tidak ada yang main bola disini) yaitu sebuah tempat terbuka yang luas dan datar. Beberapa pendaki mendirikan tenda disini dengan menimpakan batu-batu besar kesekeliling tenda agar tenda tidak diterbangkan angin, terbayang saja bagaimana rasaya jika dihajar badai ditempat ini.




Kabut masih pekat dan gerimis masih turun, dari lapangan bola ini sudah tidak ada jalur lagi karena kita bisa melangkah kearah mana saja. Kami pun menyeberangi lapangan bola dan sampai ditempat yang menyerupai bukit kecil dan saya tau itu adalah tempat yang terpasang alat deteksi gempa, dan benar terlihat sebuah antena dan terdapat beberapa solar cell. Dari sini saya belokkan arah perjalanan kearah puncak Merpati dengan memutari kawah dan melalui punggung jurang menuju puncak merpati. Rencana saya setelah mencapai puncak Merpati kami akan menuruninya menuju Taman Edelweis.





Kabut masih tetap tidak berkurang, jarak pandang yang sangat terbatas membuat saya tidak bisa mengenali posisi dimana kami berada. Jalanan mestinya rata tapi tidak lama kami sampai di tempat yang menurun dan semakin menurun yang akhirnya terlihat bibir jurang di depan. Merasa saya salah ambil arah kami pun kembali ke lokasi alat deteksi gempa. Setelah memastikan arah puncak Merpati kami pun melanjutkan langkah. Tidak lama setelah berjalan dibibir jurang mestinya jalanan segera mendaki menuju ke puncak Merpati, tapi yang ada hanya datar saja bahkan cenderung menurun. Disini navigasi saya mulai errorrr... Sekeliling hanya putih yang terlihat, suara orang berbicara diselingi tawa dan teriakan masih terdengar tidak jauh dibalik tebalnya kabut didepan. Hati saya mulai was-was, saya lihat Buk Bro enjoy saja karena tidak tau apa yang saya rasakan. Karena saya tidak mengatakan apa-apa, Buk Bro mengajak untuk meneruskan perjalanan. Sebelum melangkah saya menyusun beberapa batu membentuk tanda panah sebagai penanda dan mengulanginya di setiap beberapa jauh kedapan.

Kami terus berjalan, jurang yang mestinya ada disebelah kanan sudah tepat ada disana, tapi jalanan yang seharusnya mendaki malah semakin menurun. Turunan ini mestinya ada setelah sampai di puncak Merpati,namun puncak Merpati yang saya tuju tidak kunjung ketemu. Keganjilan itu menghentikan langlahku. Buk Bro masih juga enjoy, namun sudah mulai membaca ada keraguan dalam hatiku. Mendengar suara obrolan-obrolan diselingi tawa dibalik kabut didepan Buk Bro kembali mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan menuju arah sumber suara. Saya menatap arah sumber suara yang asalnya tidak bisa saya kenali karena mustahil dari puncak Merpati, dan taman edelweis pun tidak disana. Saya semakin was-was dan tidak percaya lagi dengan suara-suara itu.

Menyadari sudah tersesat saya mengajak Buk Bro kembali dan mengikuti tanda-tanda yang telah saya buat tadi. Beberapa tempat terlihat mirip dengan sebelumnya membuat saya merasa semakin ganjil, ditambah kompas yang tidak terbawa juga semakin membuat saya tidak yakin dengan arah yang ada. Beruntung beberapa tanda yang ada meyakinkan saya untuk mengikutinya, dan akhirnya kami sampai kembali pada lokasi deteksi gempa. Disini kami berhenti menenangkan pikiran dan mengingat-ingat arah datang pertama. Setelah yakin arah datang kami pun mulai melangkah kembali, tidak beberapa lama kami melihat beberapa pendaki didepan. Agak lega rasanya, setelah berbapasan dan tegur sapa saya bertanya arah lapangan bola, mereka menjawab terus saja kedepan. Mereka mengatakan juga akan menuju ke puncak Merpati dan saya hanya berpesan hati-hati jangan sampai nyasar karena kabut sangat tebal, sebab kami ini kembali karena tidak menemukan arah ke puncak Merpati. Sesampai dilapangan bola sesekali kabut terbuka dan kami langsung mencari arah turun. Setelah singgah sebentar di tugu Abel kami pun langsung menuruni cadas.





Sampai ditenda hari sudah siang, cuaca sudah berganti panas dan perut pun sudah mulai lapar. Kami segera membagi tugas, Buk Bro bagian memasak dan saya bagian makan... 
Tidak lama cuaca panas kabut tebal pun kembali menyelimuti diikuti rintik hujan yang semakin deras. Angin bertiup kencang dan hujan semakin deras. Sangat disayangkan saya lupa membawa plysheet (pelindung tenda bagian luar) sehingga air hujan merembes dan membanjir tenda kami. Ibarat sampan bocor kami pun sibuk menimba air dari dalam tenda menggunakan perasan kain selama badai berlangsung. Terikan-teriakan warga cadas pun mulai terdengar memilukan.. ada yang minta tolong, ada yang kebocoran, ada yang minta ampun, ada yang ingin pulang...tapi tiba-tiba semuanya malah pada tertawa terbahak-bahak..ternyata diatas sana ada tenda pendaki yang diterbangkan badai, sehingga saya pun ikutan tertawa. 

Badai akhirnya berlalu, Buk Bro terdiam panjang setelah melewati badai. Saya hanya tersenyum melihatnya sambil menyemangati untuk tetap bertahan. Sambil menunjuk kepada para pendaki yang terus berdatangan, mereka ada yg datang bawa tenda, ada yang bawa terpal, ada yg bawa plastik, bahkan ada yang hanya membawa sarung sama mantel yang sudah robek. Mereka yang datang dari berbagai usia, mulai kelompok anak-anak SD/SMP sampai orang dewasa, bahkan ada juga yang membawa anak yang masih balita. Dan banyak juga para pendaki yang datang dari luar provinsi seperti dari Riau dan Jambi plus satu orang bule.




Menjelang sore saya masih berpikir untuk kembali ke puncak sebab besok pagi tidak ada waktu untuk muncak lagi karena kami akan langsung turun. Rasanya tanpa melihat kawah dan taman edelweis pendakian akan terasa tidak sempurna. Setelah meyakinkan Buk Bro untuk naik lagi kami pun kembali menaiki cadas. Hujan badai siang tadi sudah membuat cuaca bersih dan pandangan jelas. Terlihat Buk Bro mulai bersemangat dan terkagum melihat wajah puncak yang tidak tertutup kabut lagi. Kawah dan puncak Merpati terlihat jelas, saya berhenti dan memperhatikan kembali kesalahan arah pagi tadi. Ternyata dari lokasi deteksi gempa menuju ke puncak Merpati yang dalam pikiran saya berjalan memutar ke kanan kawah ternyata telah meleset kekiri kawah sehingga jurang yang saya kira disebelah kanan itu adalah bibir kawah, dan sumber suara itu berarti asalnya di jalur Merpati menuju taman edelweis. Dapat pelajaran berharga pagi hari ini.





Kawah gunung Marapi, view dari dekat lapangan bola dengan latar Puncak Merpati


Mengingat hari sudah sore kami bergegas menuju dan sampai di puncak Merpati. Dari sini danau Singkarak yang luas hanya terlihat seperti sebuah telaga. Padang Panjang, Tanah Datar,  Solok dan Pariaman dengan lautnya terlihat jelas dari atas. Indahnya pemandangan dari puncak Merpati tidak membuat kami betah berlama-lama sebab waktu terus berjalan. Setelah puas selfie kami pun segera turun meninggalkan puncak Merpati menuju Taman Edelweis. Rute ke taman yang menurun mempercepat langkah kami.






Taman edelweis sebenarnya terletak diseberang jalur air yang membelah cadas setelah menuruni puncak menuju jalur turun kearah Batu Sangkar. Dari situ taman edelweis  membentang memenuhi bukit-bukit didepan, entah berapa jauh kesana sebab saya belum pernah melewati rute Batu Sangkar. Yang pasti taman bunga yang sangat indah ini bukanlah buatan manusia, semua ini adalah bentukan alam, hanya alam. Edelweis adalah bunga yang hidup ditempat tersulit disaat tidak ada satupun tumbuhan lain bahkan lumut pun tidak sanggup hidup. Apabila dipetik bunga ini tidak akan layu sampai bertahun-tahun. Inilah yang membuatnya dikenal luas walau sangat sulit ditemukan. Tapi sebenarnya ada tiga bunga yang hidup ditempat seperti ini, selain bunga edelweis yang dikenal luas ada juga bunga cantigi dan bunga padi. 

Beberapa kali terdengar Buk Bro mengucapkan puji Tuhan menyaksikan keindahan alam ciptaanNya. Sebelum jalur air juga sudah banyak ditumbuhi edelweis sehingga kami tidak menyeberang untuk melanjutkan ke tengah taman karena hari yang sudah semakin sore, dan kami tidak ingin kembali disaat gelap. Saya biarkan Buk Bro melanggar aturan dengan memetik beberapa tangkai bunga edelwis, namanya juga pendaki pemula. Selesai sholat ashar yang sudah diunjung waktu dan puas dengan selfie-selfie kami kembali menaiki cadas bergegas untuk kembali. Kesempatan menyaksikan sunset sudah tidak ada lagi, sebab kami berada pada sisi lain gunung tempat menampilkan sunrise.









Sampai di bibir kawah besar gunung Marapi kami berbelok ke kanan mengambil jalan kembali berbeda. Beberapa kali Buk Bro pergi ke bibir kawah yang besar mencoba untuk melihat dasar kawah yang jauh dibawah sana dengan diding vertikal 90 derajat namun tidak pernah berhasil. Keingintahuannya yang besar terkalahkan oleh pemandangan kedasar kawah yang sangat menyeramkan. Kami berjalan beriringan disamping kawah, saya hanya mengikuti Buk Bro dari belakang sambil senyam-senyum melihat tingkahnya dari belakang. Hari berangsur gelap, suatu ketika saat Buk Bro tengah asik berjalan tiba-tiba dia berteriak dan berlari menjauh. Ternyata jalan yang dilaluinya retak dan mengeluarkan asap. Saya pun berhenti dan memperhatikan jalan setapak dipingggir kawah tetsebut, ternyata memang sudah retak sejak lama, kepulan asap dari dasar kawah masuk kedalam celah-celah retakan dan sampai di telapak kaki Buk Bro sehingga membuatnya menghambur dan lari menjauh.

Melintasi lapangan bola dan mamasuki jalur turun ke cadas kami berhenti dan melaksanakan sholat maghrib. Hari sudah gelap bersyukur kami sudah di jalur turun ke cadas dimana tenda berada. Disini para pendaki sudah sangat ramai seperti pasar, jalur turun pun sudah dipenuhi manusia. Semakin turun semakin ramai, banyak tenda-tenda yang berdiri memakan separuh jalur karena sudah tidak ada lagi tempat untuk mendirikan tenda. Cadas marapi malam ini benar-banar dipenuhi manusia gunung. Riauh percakapan, nyanyi-nyanyian dan teriakan yang bersahutan bercampur jadi satu,  bahkan ada juga yang tartil membaca ayat suci Al-Qur'an. Cadas marapi pun sudah mirip seperti padang arafah.

Semakin malam para pendaki terus saja berdatangan, semakin mendekati tengah malam cadas semakin ramai dan semakin ribut. Menjelang pergantian tahun kembang api semakin banyak berterbangan ke udara, cahaya kembang api sekali-sekali juga terlihat dari puncak gunung Singgalang. Seperti malam sebelumnya kami hanya duduk makan minum diatas batu sambil menikmati suasana pergantian tahun. Setelah selesai detik-detik pergantian tahun cadas masih saja heboh. Entah sampai jam berapa kami sudah tidak sadar lagi karena sudah larut didalam sleeping bag didinginnya cadas.

Bangun disubuh hari, sholat dan langsung menyiapkan sarapan pagi. Jalur menuju puncak sudah seperti ular naga karena dipenuhi pendaki yang menaiki puncak untuk menyambut terbitnya matahari diawal tahun. Kelap-kelip cahaya senter mereka terlihat sampai jauh diatas, itu berarti cuaca cukup bagus. Sayang sekali kami harus segera bersiap turun secepatnya karena sampai dibawah saya akan langsung melanjutkan perjalanan ke Riau karena besok pagi tanggal dua harus masuk kerja. Selesai sarapan dan beres-beres hari sudah terang, kami pun menggulung tenda dan packing semua barang-barang. Setelah semua sampah dibersihkan dan dibakar kerel saya angkat lalu perlahan kami mulai menuruni cadas masuk ke jalur turun menuju rimba.



Menjelang siang kami sudah sampai di posko pendaftaran. Saya lihat Buk Bro masih dalam kondisi baik-baik saja, walau penampilannya sedikit acak-acakan seperti saya yang lebih acak-acakan lagi. Muka terasa setebal tembok, bibir pecah-pecah, kulit menghitam, kaki terasa mau copot dan seluruh tubuh terasa pegal. Tapi syukur Alhamdulillah tidak ada luka dan cidera. Setelah melapor ke posko gunung Marapi dan mengambil motor diantara ribuan motor yang diparkir sampai ke ladang-ladang kami pun turun menuju Koto Baru. Masjid Jami' Darussalam Koto Baru adalah masjid persinggahan para pendaki dan biasa digunakan tempat meeting point bagi pendaki-pendaki yang membuat kesepakatan mendaki bersama. Disini kami berpisah, Buk Bro melanjutkan perjalanan menuju Kota Padang dan saya dengan sisa-sisa tenaga dan semangat yang ada memacu motor menuju ke Pekanbaru Riau....